Konsep Cinta (Mahabbah) dalam Tasawuf
Hatiku telah mampu menerima aneka bentuk dan rupa;
ia merupakan padang rumput bagi menjangan,
biara bagi para rahib, kuil anjungan berhala,
ka`bah tempat orang bertawaf,
batu tulis untuk Taurat,
dan mushaf bagi al-Qur’an.
Agamaku adalah agama cinta,
ia merupakan padang rumput bagi menjangan,
biara bagi para rahib, kuil anjungan berhala,
ka`bah tempat orang bertawaf,
batu tulis untuk Taurat,
dan mushaf bagi al-Qur’an.
Agamaku adalah agama cinta,
yang senantiasa kuikuti ke mana pun langkahnya;
itulah agama dan keimananku”
itulah agama dan keimananku”
(Ibnu Arabi 1165-1240 M)[1]
A. PENDAHULUAN
Ajaran
cinta kasih ternyata tidak hanya milik agama Kristen saja. Nabi
Muhammad sendiri –yang notabene pembawa agama Islam– diutus oleh Allah
untuk membawa misi sebagai kasih sayang bagi alam semesta (rahmah lil ‘alamin).[2] Lebih jauh lagi, tasawuf sebagai salah satu bentuk pemahaman dalam Islam telah memperkenalkan betapa ajaran cinta (mahabbah) menempati kedudukan yang tinggi. Hal itu terlihat dari bagaimana para ulama sufi, seperti al-Ghazali, menempatkan mahabbah sebagai salah satu tingkatan puncak yang harus dilalui para sufi.[3]
Wajah
sejuk dan teduh tasawuf yang mendedahkan cinta, dari dulu sejak zaman
Rabi’ah al-Adawiyah hingga di zaman modern sekarang, tak pelak menarik
orang-orang yang tertarik dengan pencarian kebahagiaan dan kebenaran
hakiki. Apalagi di zaman modern sekarang ketika alienasi sosial begitu
banyak terjadi, terutama di masyarakat Barat. Alienasi tersebut terjadi
di antaranya karena kemajuan material ternyata banyak mengorbankan
penderitaan spiritual. Kemudahan-kemudahan hidup yang dihasilkan oleh
kemajuan teknologi modern membuat banyak orang jadi mengabaikan ruang
rohani dalam dirinya.
B. DASAR-DASAR AJARAN MAHABBAH
1. Dasar Syara’
Ajaran mahabbah memiliki dasar dan landasan, baik di dalam Alquran maupun Sunah Nabi SAW. Hal
ini juga menunjukkan bahwa ajaran tentang cinta khususnya dan tasawuf
umumnya, dalam Islam tidaklah mengadopsi dari unsur-unsur kebudayaan
asing atau agama lain seperti yang sering ditudingkan oleh kalangan
orientalis.[4]
a. Dalil-dalil dalam al-Qur’an, misalnya sebagai berikut:
1) QS. Al-Baqarah ayat 165
Dan
di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan
selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah.
Adapun orang-orang yang beriman, sangat besar cinta mereka kepada Allah.
Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui
ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu
kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya
(niscaya mereka menyesal).
2) QS. Al-Maidah ayat 54
Hai
orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari
agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah
mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah
lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap
orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut
kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah,
diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas
(pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.
3) QS. Ali Imran ayat 31
Katakanlah:
“Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mencintai dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
b. Dalil-dalil dalam hadis Nabi Muhammad SAW, misalnya sebagai berikut:
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ اْلإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ ِللهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
Tiga hal yang barang siapa mampu melakukannya, maka ia akan merasakan manisnya iman, yaitu: pertama Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya; kedua: tidak mencintai seseorang kecuali hanya karena Allah; ketiga benci kembali kepada kekafiran sebagaimana ia benci dilemparkan ke neraka. [5]
….. وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا …
….Tidaklah
seorang hamba-Ku senantiasa mendekati-Ku dengan ibadah-ibadah sunah
kecuali Aku akan mencintainya. Jika Aku mencintainya, maka Aku pun
menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar; menjadi
penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat; menjadi tangannya yang ia
gunakan untuk memukul; dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk
berjalan. …[6]
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِين
Tidak beriman seseorang dari kalian sehingga aku lebih dicintainya daripada anaknya, orang tuanya, dan seluruh manusia.[7]
2. Dasar Filosofis
Dalam mengelaborasi dasar-dasar filosofis ajaran tentang cinta (mahabbah)
ini, al-Ghazali merupakan ulama tasawuf yang pernah melakukannya dengan
cukup bagus. Menurut beliau, ada tiga hal yang mendasari tumbuhnya
cinta dan bagaimana kualitasnya, yaitu sebagai berikut:
a. Cinta tidak akan terjadi tanpa proses pengenalan (ma’rifat) dan pengetahuan (idrak)
Manusia
hanya akan mencintai sesuatu atau seseorang yang telah ia kenal. Karena
itulah, benda mati tidak memiliki rasa cinta. Dengan kata lain, cinta
merupakan salah satu keistimewaan makhluk hidup. Jika sesuatu atau
seseorang telah dikenal dan diketahui dengan jelas oleh seorang manusia,
lantas sesuatu itu menimbulkan kenikmatan dan kebahagiaan bagi dirinya,
maka akhirnya akan timbul rasa cinta. Jika sebaliknya, sesuatu atau
seseorang itu menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan, maka tentu ia
akan dibenci oleh manusia. [8]
b. Cinta terwujud sesuai dengan tingkat pengenalan dan pengetahuan
Semakin
intens pengenalan dan semakin dalam pengetahuan seseorang terhadap
suatu obyek, maka semakin besar peluang obyek itu untuk dicintai.
Selanjutnya, jika semakin besar kenikmatan dan kebahagiaan yang
diperoleh dari obyek yang dicintai, maka semakin besar pula cinta
terhadap obyek yang dicintai tersebut.
Kenikmatan
dan kebahagiaan itu bisa dirasakan manusia melalui pancaindranya.
Kenikmatan dan kebahagiaan seperti ini juga dirasakan oleh binatang.
Namun ada lagi kenikmatan dan kebahagiaan yang dirasakan bukan melalui
pancaindra, namun melalui mata hati. Kenikmatan rohaniah seperti inilah
yang jauh lebih kuat daripada kenikmatan lahiriah yang dirasakan oleh
pancaindra. Dalam konteks inilah, cinta terhadap Tuhan terwujud.
c. Manusia tentu mencintai dirinya
Hal
pertama yang dicintai oleh makhluk hidup adalah dirinya sendiri dan
eksistensi dirinya. Cinta kepada diri sendiri berarti kecenderungan jiwa
untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan menghindari hal-hal yang
bisa menghancurkan dan membinasakan kelangsungan hidupnya.
Selanjutnya al-Ghazali juga menguraikan lebih jauh tentang hal-hal yang menyebabkan tumbuhnya cinta.[9]
Pada gilirannya, sebab-sebab tersebut akan mengantarkan seseorang
kepada cinta sejati, yaitu cinta kepada Tuhan Yang Maha Mencintai.
Sebab-sebab itu adalah sebagai berikut:
a. Cinta kepada diri sendiri, kekekalan, kesempurnaan, dan keberlangsungan hidup
Orang
yang mengenal diri dan Tuhannya tentu ia pun mengenal bahwa
sesungguhnya ia tidak memiliki diri pribadinya. Eksistensi dan
kesempurnaan dirinya adalah tergantung kepada Tuhan yang menciptakannya.
Jika seseorang mencintai dirinya dan kelangsungan hidupnya, kemudian
menyadari bahwa diri dan hidupnya dihasilkan oleh pihak lain, maka tak
pelak ia pun akan mencintai pihak lain tersebut. Saat ia mengenal bahwa
pihak lain itu adalah Tuhan Yang Maha Pencipta, maka cinta kepada Tuhan
pun akan tumbuh. Semakin dalam ia mengenal Tuhannya, maka semakin dalam pula cintanya kepada Tuhan.
b. Cinta kepada orang yang berbuat baik
Pada
galibnya, setiap orang yang berbuat tentu akan disukai oleh orang lain.
Hal ini merupakan watak alamiah manusia untuk menyukai kebaikan dan
membenci kejahatan. Namun pada dataran manusia dan makhluk umumnya, pada
hakikatnya kebaikan adalah sesuatu yang nisbi. Karena sesungguhnya,
setiap kebaikan yang dilaksanakan oleh seseorang hanyalah sekedar
menggerakkan motif tertentu, baik motif duniawi maupun motif ukhrawi.
Untuk
motif duniawi, hal itu adalah jelas bahwa kebaikan yang dilakukan
tidaklah ikhlas. Namun untuk motif ukhrawi, maka kebaikan yang dilakukan
juga tidak ikhlas, karena masih mengharapkan pahala, surga, dan
seterusnya. Pada hakikatnya, ketika seseorang memiliki motif ukhrawi
atau agama, maka hal itu juga akan mengantarkan kepada pemahaman bahwa
Allah jugalah yang berkuasa menanamkan ketaatan dan pengertian dalam
diri dan hatinya untuk melakukan kebaikan sebagaimana yang Allah
perintahkan. Dengan kata lain, orang yang berbuat baik tersebut pada
hakikatnya juga terpaksa, bukan betul-betul mandiri, karena masih
berdasarkan perintah Allah.
Ketika
kesadaran bahwa semua kebaikan berujung kepada Allah, maka cinta kepada
kebaikan pun berujung kepada Allah. Hanya Allah yang memberikan
kebaikan kepada makhluk-Nya tanpa pamrih apapun. Allah berbuat baik
kepada makhluk-Nya bukan agar Ia disembah. Allah Maha Kuasa dan Maha
Suci dari berbagai pamrih. Bahkan meskipun seluruh makhluk
menentang-Nya, kebaikan Allah kepada para makhluk tetap diberikan.
Kebaikan-kebaikan Allah kepada makhluk-Nya itu sangat banyak dan tidak
akan mampu oleh siapa pun. Karena itulah, pada gilirannya bagi orang
yang betul-betul arif, akan timbul cinta kepada Allah sebagai Dzat Yang
Maha Baik, yang memberikan berbagai kebaikan dan kenikmatan yang tak
terhitung jumlahnya.
c. Mencintai diri orang yang berbuat baik meskipun kebaikannya tidak dirasakan
Mencintai kebaikan per se juga
merupakan watak dasar manusia. Ketika seseorang mengetahui bahwa ada
orang yang berbuat baik, maka ia pun akan menyukai orang yang berbuat
baik tersebut, meskipun kebaikannya tidak dirasakannya langsung. Seorang
penguasa yang baik dan adil, tentu akan disukai rakyatnya, meskipun si
rakyat jelata tidak pernah menerima langsung kebaikan sang penguasa.
Sebaiknya, seorang pejabat yang lalim dan korup, tentu akan dibenci oleh
rakyat, meski sang rakyat tidak mengalami langsung kelaliman dan
korupsi sang pejabat.
Hal
ini pun pada gilirannya akan mengantar kepada cinta terhadap Allah.
Karena bagaimanapun, hanya karena kebaikan Allah tercipta alam semesta
ini. Meski seseorang mungkin tidak langsung merasakannya, kebaikan Allah
yang menciptakan seluruh alam semesta ini menunjukkan bahwa Allah
memang pantas untuk dicintai. Kebaikan Allah yang menciptakan artis Dian
Sastrowardoyo nan cantik jelita namun tinggal di Jakarta, misalnya,
adalah kebaikan yang tidak langsung dirasakan seorang Iwan Misbah yang
tinggal nun jauh di Ciwidey.
d. Cinta kepada setiap keindahan
Segala
yang indah tentu disukai, baik yang bersifat lahiriah maupun batiniah.
Lagu yang indah dirasakan oleh telinga. Wajah yang cantik diserap oleh
mata. Namun keindahan sifat dan perilaku serta kedalaman ilmu, juga
membuat seorang Imam Syafi’i, misalnya, dicintai oleh banyak orang.
Meskipun mereka tidak tahu apakah wajah dan penampilan Imam Syafi’i
betul-betul menarik atau tidak. Keindahan yang terakhir inilah yang
merupakan keindahan batiniah. Keindahan yang bersifat batiniah inilah
yang lebih kuat daripada keindahan yang bersifat lahiriah. Keindahan
fisik dan lahiriah bisa rusak dan sirna, namun keindahan batiniah
relatif lebih kekal.
Pada
gilirannya, segala keindahan itu pun akan berujung pada keindahan Tuhan
yang sempurna. Namun keindahan Tuhan adalah keindahan rohaniah yang
hanya dapat dirasakan oleh mata hati dan cahaya batin. Orang yang
betul-betul menyadari betapa Tuhan Maha Mengetahui, Maha Kuasa, dan
segala sifat kesempurnaan melekat dalam Zat-Nya, maka tak ayal ia pun
akan menyadari betapa indahnya Tuhan, sehingga sangat pantas Tuhan untuk
dicintai.
e. Kesesuaian dan keserasian
Jika
sesuatu menyerupai sesuatu yang lain, maka akan timbul ketertarikan
antara keduanya. Seorang anak kecil cenderung lebih bisa akrab bergaul
dengan sesama anak kecil. Seorang dosen tentu akan mudah berteman dengan
sesama dosen daripada dengan seorang tukang becak. Ketika dua orang
sudah saling mengenal dengan baik, maka tentu terdapat kesesuaian antara
keduanya. Berangkat dari kesesuaian dan keserasian inilah akhirnya
muncul cinta. Sebaliknya, jika dua orang tidak saling mengenal,
kemungkinan besar karena memang terdapat perbedaan dan ketidakcocokan
antara keduanya. Karena ketidakcocokan dan perbedaan pula akan muncul
tidak suka atau bahkan benci.
Dalam
konteks kesesuaian dan keserasian inilah, cinta kepada Tuhan akan
muncul. Meski demikian, kesesuaian yang dimaksud ini bukanlah bersifat
lahiriah seperti yang diuraikan di atas, namun kesesuaian batiniah.
Sebagian hal tentang kesesuaian batiniah ini merupakan misteri dalam
dunia tasawuf yang menurut al-Ghazali tidak boleh diungkapkan secara
terbuka. Sedangkan sebagian lagi boleh diungkapkan, seperti bahwa
seorang hamba boleh mendekatkan diri kepada Tuhan dengan meniru
sifat-sifat Tuhan yang mulia, misalnya ilmu, kebenaran, kebaikan, dan
lain-lain.
Terkait
dengan sebab keserasian dan kecocokan ini, satu hal yang perlu
digarisbawahi adalah bahwa Allah tidak akan pernah ada yang mampu
menandingi atau menyerupainya. Keserasian yang terdapat dalam jiwa
orang-orang tertentu yang dipilih oleh Allah, sehingga ia mampu
mencintai Allah dengan sepenuh hati, hanyalah dalam arti metaforis (majazi). Keserasian tersebut adalah wilayah misteri yang hanya diketahui oleh orang-orang yang betul-betul mengalami cinta ilahiah.
C. RABI’AH AL-ADAWIYAH: PERINTIS TASAWUF CINTA
Sosok
sufi perempuan ini sangat dikenal dalam dunia tasawuf. Ia hidup di abad
kedua Hijriah, dan meninggal pada tahun 185 H. Meski ia hidup di
Bashrah sebagai seorang hamba sahaya dari keluarga Atiq, hal itu tidak
menghalanginya tumbuh menjadi seorang sufi yang disegani di zamannya,
bahkan hingga di zaman modern sekarang ini.[10]
Corak
tasawuf Rabi’ah yang begitu menonjolkan cinta kepada Tuhan tanpa pamrih
apapun merupakan suatu corak tasawuf yang baru di zamannya. Pada saat
itu, tasawuf lebih didominasi corak kehidupan zuhud (asketisme) yang sebelumnya dikembangkan oleh Hasan al-Bashri yang mendasarkan ajarannya pada rasa takut (khauf) kepada
Allah. Corak tasawuf yang dikembangkan oleh Rabi’ah tersebut kelak
membuatnya begitu dikenal dan menduduki posisi penting dalam dunia
tasawuf.[11]
Sedemikian
tulusnya cinta kepada Allah yang dikembangkan oleh Rabi’ah, bisa
dilihat, misalnya, dalam sebuah munajat yang ia panjatkan: “Tuhanku,
sekiranya aku beribadah kepada-Mu karena takut neraka-Mu, biarlah diriku
terbakar api jahanam. Dan sekiranya aku beribadah kepada-u karena
mengharap surga-Mu, jauhkan aku darinya. Tapi, sekiranya aku beribadah
kepada-Mu hanya semata cinta kepada-Mu, Tuhanku, janganlah Kauhalangi
aku melihat keindahan-Mu yang abadi.”[12]
Saking
besar dan tulusnya cinta Rabi’ah kepada Allah, maka seolah cintanya
telah memenuhi seluruh kalbunya. Tak ada lagi tersisa ruang di hatinya
untuk mencintai selain Allah, bahkan kepada Nabi Muhammad sekalipun.
Pun, tak ada ruang lagi di kalbunya untuk membenci apapun, bahkan kepada
setan sekalipun. Seluruh hatinya telah penuh dengan cinta kepada Tuhan
semata. Hal ini juga Rabi’ah tunjukkan dengan memutuskan untuk tidak
menikah sepanjang hidupnya, karena ia menganggap seluruh diri dan
hidupnya hanya untuk Allah semata.[13]
D. DOKTRIN-DOKTRIN MAHABBAH
1. Makna Cinta di Kalangan Sufi
Dalam tasawuf, konsep cinta (mahabbah) lebih dimaksudkan sebagai bentuk cinta kepada Tuhan.[14]
Meski demikian, cinta kepada Tuhan juga akan melahirkan bentuk kasih
sayang kepada sesama, bahkan kepada seluruh alam semesta. Hal ini bisa
dilacak pada dalil-dalil syara’, baik dalam Alquran maupun hadis yang
menunjukkan tentang persoalan cinta. Sebagian dalil tersebut telah
disebutkan pada bagian sebelumnya dalam makalah ini.
Secara
terminologis, sebagaimana dikatakan al-Ghazali, cinta adalah suatu
kecenderungan terhadap sesuatu yang memberikan manfaat. Apabila
kecenderungan itu mendalam dan menguat, maka ia dinamakan rindu.
Sedangkan sebaliknya, benci adalah kecenderungan untuk menghindari
sesuatu yang menyakiti. Apabila kecenderungan untuk menghindari itu
mendalam dan menguat, maka ia dinamakan dendam.[15]
Menurut
Abu Yazid al-Busthami mengatakan bahwa cinta adalah menganggap sedikit
milikmu yang sedikit dan menganggap banyak milik Dzat yang kau cintai.
Sementara Sahl bin Abdullah al-Tustari menyatakan bahwa cinta adalah
melakukan tindak-tanduk ketaatan dan menghindari tindak-tanduk
kedurhakaan.[16]
Bagi al-Junaid, cinta adalah kecenderungan hati. Artinya, kecenderungan
hati seseorang kepada Allah dan segala milik-Nya tanpa rasa beban.[17]
2. Cinta Sejati adalah Cinta kepada Allah
Bagi
al-Ghazali, orang yang mencintai selain Allah, tapi cintanya tidak
disandarkan kepada Allah, maka hal itu karena kebodohan dan kepicikan
orang tersebut dalam mengenal Allah. Cinta kepada Rasulullah SAW,
misalnya, adalah sesuatu yang terpuji karena cinta tersebut merupakan
manifestasi cinta kepada Allah. Hal itu karena Rasulullah adalah orang
yang dicintai Allah. Dengan demikian, mencintai orang yang dicintai oleh
Allah, berarti juga mencintai Allah itu sendiri. Begitu pula semua
bentuk cinta yang ada. Semuanya berpulang kepada cinta terhadap Allah.[18]
Jika
sudah dipahami dan disadari dengan baik lima sebab timbulnya cinta yang
telah diuraikan al-Ghazali sebelumnya, maka juga bisa disadari bahwa
hanya Allah yang mampu mengumpulkan sekaligus kelima faktor penyebab
cinta tersebut. Kelima faktor penyebab tersebut terjadi pada diri
manusia hanyalah bersifat metaforis (majazi), dan bukanlah hakiki.[19]
Hanya Allah Yang Maha Sempurna. Ia tidak bergantung kepada apapun dan
siapa pun. Kesempurnaan itulah yang akan mengantarkan seseorang kepada
cinta sejati, yaitu cinta terhadap Allah.[20]
3. Mahabbah: antara Maqam dan Hal
Sebagaimana diketahui, dalam terminologi tasawuf ada istilah maqam (tingkatan) dan hal (keadaan, kondisi kejiwaan). Menurut as-Sarraj ath-Thusi dalam kitabnya al-Luma’, maqam merujuk kepada tingkatan seorang hamba di depan Tuhan pada suatu tingkat yang ia ditempatkan di dalamnya, berupa ibadah, mujahadah, riyadhah, dan keterputusan (inqitha’) kepada Allah. Sedangkan hal adalah apa yang terdapat di dalam jiwa atau sesuatu keadaan yang ditempati oleh hati. Sementara menurut al-Junaid, hal adalah suatu “tempat” yang berada di dalam jiwa dan tidak statis.[21]
Menurut al-Ghazali, cinta kepada Allah (mahabbah) merupakan tingkatan (maqam) puncak dari rangkaian tingkatan dalam tasawuf. Tak ada lagi tingkatan setelah mahabbah selain hanya sekedar efek sampingnya saja, seperti rindu (syauq), mesra (uns), rela (ridla), dan sifat-sifat lain yang serupa. Di samping itu, tidak ada satu tingkatan pun sebelum mahabbah selain hanya sekedar pendahuluan atau pengantar menuju ke arah mahabbah, seperti taubat, sabar, zuhud, dan lain-lain.[22] Cinta sebagai maqam ini juga diamini oleh Ibn Arabi. Menurutnya, cinta merupakan maqam ilahi.[23]
Berbeda dengan al-Ghazali, menurut al-Qusyairi, mahabbah merupakan termasuk hal. Bagi al-Qusyairi, cinta kepada Tuhan (mahabbah) merupakan
suatu keadaan yang mulia saat Tuhan bersaksi untuk sang hamba atas
keadaannya tersebut. Tuhan memberitahukan tentang cinta-Nya kepada sang
hamba. Dengan demikian, Tuhan disifati sebagai yang mencintai sang
hamba. Selanjutnya, sang hamba pun disifati sebagai yang mencintai
Tuhan.[24]
4. Tingkatan Cinta
Dilihat dari segi orangnya, menurut Abu Nashr ath-Thusi, cinta kepada Tuhan terbagi menjadi tiga macam cinta. Pertama, cinta
orang-orang awam. Cina seperti ini muncul karena kebaikan dan kasih
sayang Tuhan kepada mereka. Ciri-ciri cinta ini adalah ketulusan dan
keteringatan (zikir) yang terus-menerus. Karena jika orang mencintai sesuatu, maka ia pun akan sering mengingat dan menyebutnya.[25]
Kedua, cinta orang-orang yang shadiq dan mutahaqqiq. Cinta
mereka ini timbul karena penglihatan mata hati mereka terhadap
kekayaan, keagungan, kebesaran, pengetahuan dan kekuasaan Tuhan.
Ciri-ciri cinta ini adalah “terkoyaknya tabir” dan “tersingkapnya
rahasia” Tuhan. Selain itu, ciri lain adalah lenyapnya kehendak serta
hilangnya semua sifat (kemanusiaan dan keinginan duniawi).[26]
Ketiga, cinta orang-orang shiddiq dan arif. Cinta macam ini timbul dari penglihatan dan pengenalan mereka terhadap ke-qadim-an Cinta Tuhan tanpa sebab (illat) apapun.
Menurut Zunnun al-Mishri, sifat cinta ini adalah terputusnya cinta dari
hati dan tubuh sehingga cinta tidak lagi bersemayam di dalamnya, namun
yang bersemayam hanyalah segala sesuatu dengan dan untuk Allah.
Sedangkan menurut Abu Ya’qub as-Susi, cirinya alah berpaling dari cinta
menuju kepada Yang Dicintai. Sementara al-Junaid menambahkan bahwa ciri
cinta macam ini adalah meleburnya sifat-sifat Yang Dicintai kepada yang
mencintai sebagai pengganti sifat-sifatnya.[27]
E. PENGARUH DOKTRIN MAHABBAH
Semenjak Rabi’ah al-Adawiyah mengungkapkan corak tasawuf melalui puisi, prosa, atau dialognya, ajaran cinta ilahi (mahabbah) pun
mulai menjadi tema menarik di kalangan tasawuf. Gambaran tentang Tuhan
pun tidak lagi begitu menakutkan seperti sebelumnya. Tuhan seolah
menjadi lebih dekat dan lebih “manusiawi”.
Pada perkembangan tasawuf selanjutnya, mahabbah
selalu menjadi tema yang mendapat pembahasan secara khusus. Para sufi
pun banyak yang membahas lebih mendalam tentang tema ini dalam
karya-karya mereka, seperti al-Hujwairi dengan Kasyf al-Mahjub, ath-Thusi dengan al-Luma’, al-Qusyairi dengan ar-Risalah al-Qusyairiyyah, al-Ghazali dengan Ihya Ulumiddin, Ibnu Arabi dalam al-Futuhat al-Makkiyah, dan lain-lain.
Pada
bidang puisi, banyak para sufi yang juga sekaligus penyair yang
kemudian menyenandung cinta ilahi, seperti Abu Sa’id bin Abi al-Khair,
al-Jilli, Ibnu al-Faridh, Jalaluddin Rumi, dan lain-lain. Hingga
sekarang, para penyair sufi kontemporer masih banyak yang
menyenandungkan puisi-puisi cinta ilahi, seperti Syekh Fattah yang
membentuk kelompok musik Debu yang kini ada di Indonesia.
F. PENUTUP
Ajaran
cinta ilahi yang dikumandangkan oleh tasawuf sebenarnya bisa dijadikan
sarana kita untuk lebih memperhalus jiwa. Kehalusan jiwa yag dihasilkan
oleh tasawuf ini diperlukan agar agama tidak selalu dipahami secara
legal-formalistik belaka yang biasanya ditampilkan oleh kalangan ahli
fikih. Dengan demikian, agama pun diharapkan bisa menjadi berwajah
toleran, humanis, dan menerima realitas pluralistik yang ada di tengah
di masyarakat, seperti puisi yang didengungkan oleh Ibnu Arabi di awal
makalah.
Meski
demikian, ajaran cinta dalam Alquran sendiri, juga menghendaki
keseimbangan antara sisi individual dan sosial; antara emosional dan
rasional. Dari penelitian yang pernah dilakukan penulis, term-term cinta
yang ditampilkan Alquran justru bersifat dinamis dan menghendaki
aktualisasi riil dalam realitas sosial. Cinta dalam Alquran hampir
selalu ditempatkan dalam konteks untuk mewujudkan kebaikan dan keadilan
sosial.[28]
Karena itu tidaklah mengherankan jika di akhir abad 19 hingga awal abad
20, beberapa kelompok sufi di Afrika Utara menjadi pendorong perlawanan
terhadap penjajahan Barat. Wallahu a’lam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrasyid Ridha, Memasuki Makna Cinta, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003).
Abu al-Qasim al-Qusyari, ar-Risalah al-Qusyairiyyah, (format e-book dalam Program Syamilah).
Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Suatu Pengantar tentang Tasawuf, terj. Ahmad Rofi’ Utsmani, (Bandung: Pustaka, 1985).
Abu Bakr Muhammad al-Kalabadzi, at-Ta’arruf li Mazhab Ahl at-Tashawwuf, (tk.: Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyyah, 1969).
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, (Beirut, Dar al-Ma’rifah, tt).
Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi, al-Luma’, (Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1960).
Al-Hujwairi, Kasyful Mahjub, terj. Suwardjo Muthary dan Abdul Hadi WM, (Bandung: Mizan, 1993).
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973).
Ibn al-Mulqin, Thabaqat al-Auliya, (format e-book Program al-Maktabah asy-Syamilah)
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jami’ as-Shahih al-Mukhtashar, ed. Mushtafa Dib al-Biqha, (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1987).
Muhyiddin Ibnu Arabi, al-Futuhat al-Makkiyah, (format e-book dalam Program Syamilah).
______, Dzakhair al-A’laq Syarh Tarjuman al-Asywaq, seperti dikutip oleh Syamsuddin Arif, “Ibnu Arabi dan Pluralisme” dalam http://www.hidayatullah.com
Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Husain al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahih Muslim, ed. Muhammad Fuad Abd al-Baqi, (Beirut: Dar Ihya at-Turats al-Arabi, tt).
[1] Muhyiddin ibn al-Arabi, The Tarjuman al-Ashwaq, (London: Theosophical Publishing House Ltd, 1978), hal. 19.
[2] Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS. Al-Anbiya: 107).
[3] Lihat, penjelasan al-Ghazali tentang hal ini dalam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, (Beirut, Dar al-Ma’rifah, tt), juz IV, hal. 293 dan seterusnya.
[4] Lihat kajian tentang sumber-sumber tasawuf dan tudingan para orientalis, misalnya, dalam Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Suatu Pengantar tentang Tasawuf, terj. Ahmad Rofi’ Utsmani, (Bandung: Pustaka, 1985) hal. 22-34.
[5] Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jami’ as-Shahih al-Mukhtashar, ed. Mushtafa Dib al-Biqha, (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1987), juz 1, hal. 14.
[7] Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Husain al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahih Muslim, ed. Muhammad Fuad Abd al-Baqi, (Beirut: Dar Ihya at-Turats al-Arabi, tt), juz 1, hal. 67.
[8] Lihat, penjelasan al-Ghazali pada Kitab al-Mahabbah wa asy-Syauq wa ar-Ridha, dalam al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, op. cit., juz 4, hal. 296-300.
[10] Ibn al-Mulqin, Thabaqat al-Auliya, (format e-book Program al-Maktabah asy-Syamilah), juz 1, hal. 68.
[12] Al-Taftazani., Sufi dari Zaman ke Zaman., op. cit., hal. 86.
[13] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal. 74.
[16] Al-Hujwairi, Kasyful Mahjub, terj. Suwardjo Muthary dan Abdul Hadi WM, (Bandung: Mizan, 1993), hal. 278-279.
[17] Abu Bakr Muhammad al-Kalabadzi, at-Ta’arruf li Mazhab Ahl at-Tashawwuf, (tk.: Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyyah, 1969), hal. 130.
[18] Al-Ghazali, Ihya., op. cit., juz 4, hal. 301.
[19] Ibid.
[21] Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi, al-Luma’, (Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1960), hal. 65-66.
[23] Ibnu Arabi, al-Futuhat al-Makkiyah, (format e-book Program al-Maktabah asy-Syamilah), juz 3, hal. 465.
[24] Abu al-Qasim al-Qusyari, ar-Risalah al-Qusyairiyyah, (format e-book Program al-Maktabah asy-Syamilah), hal. 143.
[25] Ath-Thusi, al-Luma’, op. cit., hal. 86.
[26] Ibid., hal. 87.
[27] Ibid., hal. 88.
[28] Abdurrasyid Ridha, Memasuki Makna Cinta, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal. 160.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar