Sabtu, 12 November 2016

Menang Menurut Apa dan Siapa



“Hidup ini ada grudak-gruduknya, ada riuh rendahnya, tapi juga ada lembut dan sunyinya. Ada wajahnya, tapi ada juga jiwa di balik wajah itu. Ada jasadnya, juga ada ruhnya. Ada gaduh teriakan-teriakannya, ada juga pertapanya…”, ia memaparkan.
“Wah, sangat filosofis”, komentar Tarmihim.
“Ini serius, Him”, Sundusin protes, “kita ini orang-orang tua yang sudah gagal berguna. Saya tumpahkan apa saja untuk memungkinkan Junit dan teman-temannya ini agar jangan sampai menjadi manusia-manusia muspra seperti kita..”
“Iyo yo, Sin”, jawab Tarmihim, “kok terus sensitif melankolik….”
“Terus, terus Pakde, soal pinter itu”, kata Seger.
“Nanti disambung ke benar salah menang kalah, Pakde”, Jitul menambahi.
“Sampai kami anak-anak muda mengerti yang mana tiang utama kehidupan”, Junit melengkapi, “benar salah atau menang kalah, atau baik buruk, kaya atau miskin, mulia apa hina, indah atau jorok, sorga atau neraka…”
“Kalau dalam kalimat adzan ya Hayya ‘Alal Falah …mari berjuang menuju kemenangan…”, Toling tiba-tiba nongol suaranya.
Sundusin kemudian mencoba menguraikan. Semua dikotomi itu tidak bisa berdiri sendiri-sendiri. Ia berada integral dalam suatu konstruksi komprehensif. Tanpa komprehensi itu maka setiap pilihan akan pincang. Orang bisa berada pada posisi “untuk apa menang, tapi salah”, “tidak apa-apa kalah, asal benar”. Atau “dia miskin tapi mulia”, “dia kaya tapi hina”. Atau “kaya dan mulia” atau “sudah miskin, hina pula”. Ada beribu-ribu variabel dan kemungkinan. Orang bisa kasih nasihat “tak apa kalah militer, asal menang politik, tak apa kalah politik asal menang moral”.
Bahkan ada probabilitas “kelihatannya menang, tapi itu hanya simbolik, padahal secara substansial sebenarnya kalah”. “Bersabar ketika kalah dalam satu pertempuran, asalkan sudah menghitung peperangan yang panjang”. “Biasanya malah yang baik itu yang kalah, yang buruk atau yang jahat kebanyakan malah menang”. “Apa kebaikan harus terkait dengan kemenangan, meskipun menderita juga kalau kebaikan berposisi kalah”.
“Menang menurut apa dan siapa dulu dan bagaimana posisinya. Kalau kita berkelahi melawan anak kecil atau orang lemah, kemudian menang, itu bukan kemenangan namanya, tapi kehinaan”. “Seseorang atau sejumlah orang mencapai kemenangan untuk menjadi pemimpin formal atau menjadi apapun di panggung Negara atau Masyarakat, tapi mencapai itu melalui pemalsuan citra, mobilisasi cara pandang publik, provokasi emosi, rayuan-rayuan palsu lewat berjenis-jenis media informasi dan komunikasi. Itu bukanlah kemenangan manusia dan kemanusiaan. Itu kemenangan kekuatan pembodohan, pemalsuan, dan kriminalitas atas nilai-nilai sejati kehidupan”.
“Gila”, Jitul berkomentar, “Pakde Ndusin ternyata Ashabul-Quote juga nih….”
“Tapi titik berat Adzan kan tetap Mari Menuju Kemenangan”, Toling membantah, “dan itu dilantunkan keras-keras di jutaan tempat setiap detik di permukaan bumi”
“Itu kalimat bikinan siapa, Ling?”, Ndusin bertanya.
“Setahu kami, Sayyidina Bilal, Pakde”, jawab Toling.
“Ya”, sambung Jitul, “Kanjeng Nabi mendadak menyuruh Bilal untuk adzan, tanpa diberi panduan kalimat apa-apa, pokoknya disuruh teriak memanggil-manggil ummat agar bersembahyang”
“Kalimat itu dibantah, dikurangi, ditambahi, diperbaiki atau disalahkan atau tidak oleh Rasulullah?”, tanya Ndusin.
“Tidak”, jawab Toling.
“Jadi fix ya. Confirm. Muwaffaq. Muttafaq ya”
“Ya Pakde”
“Dan dipakai hingga sekarang sebagai kalimat baku adzan?”
Default, Pakde”
“Jadi gravitasi nilai utamanya adalah kemenangan. Perjuangan mencapai kemenangan”
“Siap, Pakde”
“Kemenangan Dunia atau Akhirat?”
“Kemenangan Akhirat, di mana Dunia adalah bagian darinya di tahap awal”
“Kemenangan atas orang Kafirun, Munafiqun, Musyrikun?”
“Tidak ada kewajiban bagi Kaum Muslimin untuk menang. Yang ada adalah perjuangan sampai mati mencapai kemenangan. Letak kemenangannya pada istiqamah perjuangannya, bukan pada peristiwa kalahnya Kafirun Munafiqun Musyrikun”
“Yakin begitu?”.

M. Arif Nasrulloh

M. Arif Nasrulloh